Jumat, 12 Februari 2016

Leadership Style in Character Education at The Darussalam Gontor Islamic Boarding M. Ihsan Dacholfany akreditasi Dikti http://journal.iaingorontalo.ac.id/


Leadership Style in Character Education at The Darussalam Gontor Islamic Boarding

M. Ihsan Dacholfany

Abstract


Pesantren (Islamic Boarding) is the oldest educational institution in Indonesia which has a role in character education. The main purpose of this study was to understand leadership style of teachers (clerics) in character education as well as the process to produce competent believers. Religio-paternalistic leadership is based on the value of total admission of religious and educational methods, with emphasis on the application of knowledge resulting believers’ faith and fear of Allah guided by the Qur'an and Sunnah. To obtain data, the author employed interview, observation and documenter. The Darussalam Gontor Islamic Boarding School in East Java was the field-site of this research.
-----
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan paling tua di Indonesia memegang peran penting dan strategis dalam pendidikan karakter. Artikel ini bertujuan untuk memahami gaya kepemimpinan (kyai) dalam pendidikan karakter serta  prosesnya sehingga dapat menghasilkan  mu’min yang kompeten. Kepemimpinan religio-paternalistic didasarkan atas nilai-nilai keagamaan dan metode pendidikan totalitas. Totalitas dalam mengutamakan pengaplikasian semua ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan mukmin yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. dengan berpedoman pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Penulis focus pada pendidikan karakter berbasis pesantren. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan documenter. Lokasi penelitian di Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Jawa Timur Indonesia

Keywords


Leadership; Education; Character

REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI: SEBUAH TANTANGAN DAN HARAPAN M. Ihsan Dacholfany Jurnal Akademika - Akreditasi Dikti www.academia.edu/.../REFORMASI_PENDIDIKAN_


REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI: SEBUAH TANTANGAN DAN HARAPAN



M. Ihsan Dacholfany


Universitas Muhammadiyah Metro Lampung
Jl. Ki Hajar Dewantara, Metro Tim., Kota Metro, Lampung 34124, Indonesia
+62 725 42445
, Hp. 081213022488


Abstrak
Masalah Pendidikan Islam adalah masalah yang sangat menarik dan unik dikaji apalagi  yang berhubungan dengan reformasi Pendidikan Islam yang tentunya mendapat berbagai tantangan yang krusial di era globalisasi sehingga akan mempunyai pengaruh positif dan negatif  yang merupakan tantangan dan harapan pada pendidikan Islam, jika peneliti ataupun ilmuwan kritis terhadap fenomena perkembangan globalisasi akan mengajak dan  membawa ikatan persatuan atau perpecahan dari orang-orang yang mempunyai perbedaan pola pikir dan sikap sebab masalah yang timbul di antaranya  adanya  pemikiran, usulan dan usaha serta kemampuan pada  orientasi pendidikan, sumber daya manusia, dikotomi ilmu, peranan Pemerintah, anggaran, informasi, studi Islam di Timur dan Barat,  Kurikulum sampai dengan faham keagamaan, adanya pengaruh Barat dan lainnya. Metode Penulisan  ini pada dasarnya adalah penelitian data kepustakaan dan analisa penulis yang berkaitan dengan reformasi pendidikan Islam dengan harapan ummat Islam dapat mempersiapkan diri dan mengupayakan dalam  membangkitkan kembali visi pendidikan Islam yang lebih baik untuk membangun dan meningkatkan mutu manusia dan masyarakat Muslim di era globalisasi dengan tetap merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber ajarannya

Kata Kunci: Reformasi, Pendidikan Islam, Tantangan dan Harapan.

Abstract

Islamic Education issue is a very interesting and unique assessed especially relating to the reform of Islamic education that certainly got the crucial challenges in the era of globalization so that it will have positive and negative influences that are challenging and hopes on Islamic education, if researchers or scientists critical of the phenomenon of globalization will encourage and bring the bond of unity or disunity of the people who have different mindset and attitude problems that arise because of which their thoughts, suggestions and efforts and capabilities on the orientation of education, human resources, science dichotomy, the role of government, budget, information, study Islam in the East and the West, curriculum through religious ideology, the influence of the West and others. This writing method is basically the study of literature and analysis of data related to the author of Islamic education reform in the hopes of Muslims can prepare and seek in reviving the Islamic educational vision better to build and improve the quality of human and Muslim communities in the era of globalization with fixed refer to the Qur'an and Sunnah as the source of his teachings.

Keywords: Reform, Islamic Education, Challenges and Expectations.

A.    Pendahuluan
Globalisasi sebagai fenomena yang bisa mempengaruhi pendidikan Islam, apalagi dengan adanya banyak pendapat dan sikap dalam memaknai globalisasi, di antaranya ada yang bersikap pesimis dalam menyikapi globalisasi ini disebabkan oleh  pengertian  global, karena cepatnya teknologi dan  informasi media akan berakibat pada ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapinya baik berupa sosial, budaya, agama, ekonomi, pendidikan dan lainnya, kemudian ada yang bersikap secara kritis positif tentang fenomena globalisasi dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam dan yang lain ada juga yang bersikap bahwa globalisasi mempunyai pengaruh positif pada pendidikan Islam, jika peneliti ataupun ilmuwan kritis terhadap fenomena perkembangan globalisasi karena dianggap akan mengajak dan  membawa ikatan persatuan dari orang-orang yang mempunyai perbedaan pola pikir dan sikap seperti agama, ras, suku, bahasa, agama dan lainya. Dengan adanya globalisasi akan timbul pemikiran, usulan dan usaha serta kemampuan di seluruh dunia yang dengan sangat cepat dan mudah untuk diakses sehingga dapat  memberikan kesempatan baru bagi peneliti atau ilmuwan untuk menganalisis, mengadopsi berbagai bentuk kegiatan pendidikan dan yang terakhir cara orang dalam menghadapi globalisasi ini adalah orang-orang yang bersikap mendukung dengan adanya globalisasi sebab mereka mempunyai kepercayaan bahwa pendidikan akan mendapat wadah yang bermanfaat dalam melihat fenomena globalisasi, dikarenakan pendidikan merupakan investasi yang mempunyai nilai lebih serta pendidikan merupakan elemen  yang dapat berguna serta dijual di negara manapun. Maka seyogyanya para ilmuwan Islam mampu menanggapi perbedaan pandangan dan sikap ini sehingga dapat berkonsentrasi kepada pendidikan Islam yang keperluannya untuk kemajuan ummat dan perkembangan  agama Islam dengan tetap merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber ajarannya.

B.     Pendidikan Islam: Antara Reformasi dan Globalisasi
Kata Arab untuk “reformasi”, menunjukkan gerakan reformasi di dunia Islam pada tiga abad terakhir. Dalam konteks Islam modern, kata islah terutama merujuk pada “upaya”. Dalam kamus dan al-Qur’an, kata ini juga bermakna “rekonsiliasi”, artinya lawan penyimpangan.[1] Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Dalam pengertian itu, sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah.[2]
Reformasi merupakan perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) disuatu masyarakat atau negara;  ekonomi perubahan secara drastis untuk perbaikan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara.[3] Menurut Emil Salim reformasi adalah menekankan untuk perubahan dengan melihat keperluan masa depan. Sedangkan menurut Din Syamsudin sebagaimana dikutip H.A.R. Tilaar menekankan kepada kembali dalam bentuk asa.l[4] Dalam masalah ini, jelaslah bahwa reformasi merupakan suatu upaya pembaharuan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi, hukum juga termasuk pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Sejak awal abad ke-20, masyarakat muslim di Indonesia telah melakukan reformasi (pembaharuan). Reformasi ini dirintis oleh tokoh pelopor pembaharu pendidikan Islam Minangkabau, seperti Syekh Abdullah Ahmad, Zainudin Labai El-Yunus dan lain-lain, juga dalam bentuk organisasi-organisasi Islam seperti Jamiat Khair, Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), dan Nahdatul Ulama di daerah lain.[5]
Sementara itu, globalisasi dapat dipahami berasal dari asal kata globe, yang berarti bola bumi. Istilah ini digunakan karena akselerasi penyebaran informasi yang luar biasa. Dalam waktu sekejap saja, melalui fasilitas teknologi komunikasi yang teramat canggih, arus informasi dari satu belahan bumi bisa menyebar secara merata ke seluruh bola bumi. Karena kenyataan inilah kita lalu seolah-olah menjadi bagian dari istilah-istilah itu.[6]
Globalisasi adalah sebuah term yang telah lama mewacana sampai sekarang ini, globalisasi masih terus menjadi materi perbincangan di kalangan ilmuwan dari varian disiplin keilmuan yang biasanya ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi informasi dan transportasi telah menghasilkan perubahan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Globalisasi selalu dihubungkan dengan modernisasi dan modernism. Para pakar budaya mengatakan bahwa ciri khas modernisasi dan manusia modern itu adalah tingkat berfikir, iptek, dan sikapnya terhadap penggunaan waktu dan penghargaan terhadap karya manusia.[7]
Menurut Abuddin Nata dari sudut peristilahan kata globalisaasi sebenarnya masih mengalami problem karena  realitas serta subyektifitas pemakaian kata tersebut, namun globalisasi secara sederhana dapat ditunjukkan dalam bentuk perluasan skala, pengembangan wilayah, dan percepatan pengaruh dari arus dan  pola-pola inter-regional dalam interaksi sosial.[8]
Berkaitan dengan reformasi dan globalisasi, pendidikan merupakan harapan pasar ekonomi dan kebutuhan pasar global. Misalnya, penyediaan bidang studi yang dibutuhkan pasar domestik sampai yang menjadi trand bagi kebutuhan pasar global. Hal ini amat penting untuk dicermati, agar output pendidikan benar-benar terjual dan bersaing di pasar global. Pendidikan menurut pandangan Islam merupakan salah satu bagian tugas kekhalifahan manusia yang mesti dilaksanakan dengan tanggung jawab, pertanggungjawaban itu dapat dituntut jika ada aturan dan pedoman pelaksanaan. Oleh karenanya, Islam memberikan pedoman dan konsep tentang pelaksanaan pendidikan secara baik dan benar sebagaimana konsep tabula rasa dari John Locke (1632-1704). Menurut aliran konsepnya, manusia pada mulanya kosong dari pengetahuan[9], lantas pengetahuannya mengisi jiwa yang kosong itu, lalu ia memiliki pengetahuan yang memandang jiwa manusia dilahirkan sebagai kertas putih bersih yang kemudian sepenuhnya tergantung pada tulisan yang mengisinya kemana jiwa itu akan dibentuk dan dikembangkan, atau dengan kata lain, tergantung pada kepribadian macam apa yang ingin dikembangkan oleh pendidik dan masyarakat dan ini sesuai ajaran Islam, dalam hadist Nabi yang berbunyi :

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوّدَانِهِ اَوْ يُنَصّرَانِهِ اَوْ يُمَجّسَانِهِ.
Artinya:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanya lah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi…”[10]
Penjelasan mengenai pendidikan Islam memberikan adanya penekanan terhadap makna pendidikan kepada pembinaan  kepribadian, penerapan metode dan pendekatan yang bersifat teoritis dan praktis ke arah perbaikan sikap mental yang memadukan antara iman sekaligus amal sholeh yang tertuju kepada individu dan masyarakat luas. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.[11] Walaupun pada awal kemerdekaan pendidikan Islam dianggap sebagai musuh oleh kaum penjajah. Sebab pendidikan Islam kerap mengajarkan melawan akan kebatilan yang dilakukan oleh para penjajah namun  kini pendidikan Islam berkembang subur, laksana rumput di tanah yang luas tersiram air hujan. Tumbuh tiada terbendung.

C.     Eksistensi Pendidikan Islam
Eksistensi pendidikan Islam selalu berhubungan dan bergumul dengan realitas atau keyataan yang terjadi didalamnya. Dalam perspektif historis, pergumulan antara pendidikan Islam dengan realitas sosio kultural menemui dua kemungkinan;
Pertama, pendidikan Islam memberikan pengaruh terhadap lingkungan sosio kultural dalam arti memberikan wawasan filosofis, arah, pandangan, motivasi perilaku dan pedoman perubahan sampai terbentuknya suatu realitas sosial baru, contoh dengan adanya gerakan Modernisasi Muhammad Abduh dalam pembaharuan Islam adalah membenarkan pikiran dari ikatan taqlid.[12] Kedua, Pendidikan Islam dipengaruhi oleh realitas atau kenyataan perubahan sosial, lingkungan sosio kultural, dalam arti penentuan sistem pendidikan, institusi dan pilihan-pilihan prioritas juga eksistensi dan aktualisasi dirinya.[13]
Menurut Yunus, pada dasarnya dua pengertian tentang pendidikan, yang seringkali diperdebatkan, yakni: Pertama, yang berpandangan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah merupakan proses pewarisan, penerusan dan sosiolisasi perilaku individual dan sosial, yang telah menjadi model anutan masyarakat secara baku. Kedua, yang mengartikan pendidikan sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan terciptanya situasi atau lingkungan di pelbagai potensi dasar yang dimiliki anak didik dapat berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan mereka pada zaman mereka harus survive[14], khususnya dalam menghadapi era globaliasi ini yang tantangannya semakin berat dan berdaya saing.
kedua sudut pandang yang berbeda tentang pengertian pendidikan ini, masing-masing mempunyai implikasi yang luas terhadap penyelengaraan pendidikan secara praksis selama ini. Menurut Yunus, di lingkungan lembaga pendidikan Islam sekarang ini rasanya penekanan pada penegertian yang pertama, tadi lebih kuat dari pada pengertian yang kedua, sehingga pendidikan diterjemahkan sebagai usaha mencetak anak didik dengan sebuah model idola yang bersifat statis. Lain halnya jika penekanan pengertian pada yang kedua, akan memungkinkan lebih aktual dalam konteks lingkungan dan waktu di mana mereka sedang atau akan mengambil peran dalam hidupnya.[15]

D.    Reformasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi: Sebuah Tantangan dan Harapan
Munculnya anggapan dan persepsi bahwa reformasi Pendidikan Islam dalam menghadapi era globalisasi sebuah keniscayaan di antaranya adalah ajaran dan nilai agama sudah berubah dan kabur, kerusakan akhlak, kebebasan remaja yang telah melanggar norma agama dan etika, narkoba, minum keras, dan penyakit sosial lainnya dan selain itu kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Namun demikian apa yang diharapkan dari pendidikan Islam sebagai karakterisasi memberikan bimbingan dan arahan serta pembinaan potensi pribadi menuju terbentuknya pribadi muslim seutuhnya bahagia di dunia dan di akhirat. Suatu kepribadian yang terus menjaga keseimbangan hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia (QS.3:112) dalam perspektif masyarakat, fungsi pendidikan Islam sebagai sosialisasi terbentuknya masyarakat Islam adalah ummat wasatan (umat tengah) (QS.2:143), umat terbaik (QS.3:110) dan ummat yang utuh (ummatan wahidah).
Menurut Djamali bahwa dalam perspektif global ada beberapa faktor yang disoroti oleh sebagai fonomena kemuduran umat Islam, yaitu: kemunduran bidang agama, akhlak, keterbelakangan ilmu pengatahuan, dan teknologi, keterbelakangan ekonomi, sosial, kesehatan, politik, manajemen, dan bidang pendidikan secara global di dunia Islam, faktor-faktor tersebut yang memperlemah peran umat Islam dalam memaksimalkan kemampuan atau daya saing dalam pecaturan dunia global[16], dan itu semua merupakan tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi era gobalisasi dan ummat Islam seyogyanya mampu menyikapinya dengan arif dan bijak sehingga mendapatkan solusi yang benar berdasarkan al-Qur’an, al-Hadist dan ijtihad para ulama dan ilmuwan di tanah air.
Globalisasi merupakan ‘kata sakti’ yang bisa mengubah sikap dan pemikiran setiap orang di seluruh dunia terhadap dunia pendidikan. Pemahaman dan kesadaran bahwa satu-satunya yang dapat mempermudah jalan di abad global ini adalah melalui pendidikan. Ada yang menganggap pendidikan tidak lagi dianggap barang mewah, malah sebaliknya pendidikan menjadi suatu kebutuhan dalam mempersiapkan kehidupan hari esok yang tidak lagi dapat diramalkan. Namun demikian pendidikan adalah sebenarnya, esensi dari pendidikan itu sendiri adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, etika dan nilai-nilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa[17]. Proses tranformasi ini diharapkan mampu untuk menjadi nilai hidup dalam mempersiapkan sumber daya manusia generasi berikutnya untuk menghadapi perubahan masa depan yang lebih baik.
Berdasarkan pada keterangan diatas dapatlah diidentifikasi beberapa  tantangan dalam mereformasi pendidikan Islam dalam menghadapi era globalisasi dan beberapa usaha yang seyogyanya dapat dilakukan, diantaranya orientasi pendidikan Islam, sumber daya manusia, anggaran pendidikan, kurikulum, pengaruh Barat dan lainnya sebagai harapan untuk membangkitkan kembali kemajuan ummat Islam.
1.      Orientasi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas,[18] semestinya “sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan[19], jika tidak, maka pendidikan Islam di Indonesia akan mengalami  ketinggalan dalam persaingan global.
Orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih mengalami perbedaan pendapat, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam belum mendapat pengakuan secara internasional dalam era global ini maka seyogyanya orientasi pendidikan Islam bukan hanya dengan model-model pendidikan dan pembelajaran seperti yang sudah ada sekarang ini, yang seharusnya terus menerus melakukan reformasi (pembaruan) dan inovasi serta kerja keras untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan menuju langkah baru ke arah kemajuan dan perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman sehingga pemerataan, mutu, relevansi, dan efektif dan efisiensi dari pendidikan dapat diselesaikan dengan baik dan benar, hal itu karena tuntutan globalisasi bukan lagi hanya sampai tingkat mengenyam pendidikan akan tetapi keperluan akan keterampilan yang bisa menjadi nilai jual bagi diri, masyarakat dan negaranya. Selain itu juga  perlu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru.[20] Yang berhubungan dengan  keperluan dan  kepentingan serta  perubahan di suatu masyarakat dan negara yang berorientasi pada pandangan masa depan.
Lembaga pendidikan Islam sekarang lebih pada orientasi yang bersifat transfer of knowledge and skill dalam mengembangkan proses intelektualisasi dan kurang memperhatikan dalam pembinaan “qalbun salim” dengan berupaya terwujudnya generasi yang memiliki “bastatan  fil-ilmi wal jism  yang diliputi oleh spritualisasi dm disiplin moral yang islami. Pada akhirnya wawasan pendidikan agama menjadi terbelah. Di satu pihak mengarah kepada “prophetic religion” (agama kekaryaan) dan dipihak yang lain mengarah kepada priestly religion (agama kewalian). Pendidikan agama kerapkali hanya dipahami esensinya, tapi tidak dipahami substansinya. Prinsip Filosofi pendidikan Qur’ani yang memadukan “tilawah”, ta’lim dan tazkiyah kurang memperoleh perhatian.
2.      Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang dimiliki oleh lulusan muslim di Indonesia belum kapabel dan masih rendahnya mutu, maka diharapkan mutu lulusan di sekolah atau perguruan tinggi dapat menghasilkan sumber daya manusia yang  dapat berdaya saing  di era globaliasasi ini sehingga  mempunyai nilai jual yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri. Semua permasalahan  yang memperlemah kondisi umat harus diselesaikan melalui upaya strategis dalam memperkuat sumber daya umat Islam dengan cara memperoleh pendidikan keterampilan mulai dari bahasa asing, komputer, internet, teknologi dan pemberian beasiswa  untuk belajar ke dalam dan luar negeri sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, hendaknya setiap individu harus memiliki landasan dan kemampuan yang meliputi perilaku, kerja keras disiplin, tanggung jawab yang dapat dipercaya dan sejenisnya dengan berpedoman pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadit’s.[21]
Sebagaimana di perguruan tinggi masih belum banyaknya tersedianya sumber daya manusia (SDM) dosen yang bergelar doktor dan professor, mengingat persyaratan untuk mencapai gelar doktor dan professor itu terasa sulit di antaranya harus menulis di jurnal Nasional dan internasional yang terakreditasi, melakukan penelitian dan lain sebagainya.
Dalam peningkatan sumber daya manusia yang handal dan kompeten adalah merupakan tanggung jawab dan kapasitas pemerintah dan masyarakat termasuklah orangtua yang seharusnya memperhatikan pembinaan dan pendidikan anak-anak sebagai generasi penerus, dan tidak membiarkan pertumbuhan anak berjalan tanpa bimbingan, atau diserahkan pada guru sekolah saja atau pembantu rumah tangga. Inilah kekeliruan yang banyak terjadi dalam realitas kehidupan kita. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah dibalakang, dalam hal ini sesuai  firman Allah swt:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
 وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا

Artinya:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapakan perkataan yang benar.” (QS an-Nisa`: 9).

Konsep pendidikan Islam sangat mementingkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sekaligus juga mementingkan kualitas kehidupan duniawi dan ukhrowi secara integral, sedangkan Noeng Muhadjir menyebutnya sebagai sosok manusia integral-integratif.[22]
3.      Anggaran Negara
Anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan di Indonesia selalu bertambah dari tahun ke tahun. Sungguh ironis memang, anggaran selalu naik tetapi mutu sumber daya manusia atau lulusan tetap rendah dan justru pendidikan dirasakan semakin mahal. Ini akibat dari minimnya falilitas sarana prasarana, ketenagaan, dan pengelola manajemen yang kurang kompeten. Masyarakat hanya diberi “jampal” atau yang diartikan  dengan janji palsu anggaran atau kebijakan bertemakan “alokasi”. Faktanya mimpi masyarakat ini sulit terkabul dengan alasan-alasan yang politis. Pejabat yang mayoritas ummat Islam di Indonesia belum bersungguh-sungguh menempatkan dunia pendidikan Islam sebagai penyangga kemajuan bangsa, kalaupun ada subsidi pemerintah perlahan menyurut sehingga tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan pendidikan bahkan sering terjadi penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh pejabat negara dan aparat dinas pendidikan serta  aparat sekolah/perguruan tinggi. Peluang penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah/perguruan tinggi serta dana operasional dari tingkat pendidikan Taman kanak-kanak sampai dengan  perguruan tinggi.[23] Padahal, tujuan utama dari pengucuran dana pendidikan tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan menaikkan kualitas tenaga pendidik supaya siswa atau mahasiswa Indonesia agar supaya apa yang dihasilkan dari sekolah atau perguruan tinggi mempunyai daya saing di tingkat nasional maupun internasional apalagi dalam dalam menghadapi era globalisasi.

4.      Informasi dan Teknologi
Adanya keinginan untuk melakukan perubahan paradigma pendidikan dari buta huruf dan melek huruf menjadi melek informasi, keinginan ini  menjadi sebuah capaian tujuan baru bagi pendidikan Islam, sehingga pemimpin Islam harus merubah strategi pendidikan yang ada disesuaikan dengan tuntutan globalisasi. Disadari atau tidak, bersamaan dengan derasnya arus globalisasi yang tidak bisa dikendalikan itu, kemajuan-kemajuan tersebut secara meyakinkan mengubah dan mengarahkan kebudayaan dan bahkan melebihi angan-angan. Kemajuan teknologi beserta dampaknya telah menguasai hampir seluruh masyarakat dunia. Karena itulah, barangkali, Lucian W. Pye menetapkan modernitas adalah budaya dunia.[24]
Teknologi komputer, jaringan telepon dan televisi (ICT) mempunyai peranan yang paling menonjol terhadap globalisasi. Kemajuan ICT ini menjadikan dunia semakin sempit, di mana orang dari satu belahan dunia dapat berhubungan dengan orang dari belahan dunia lain. Teknologi virtual mampu menghubungkan orang satu dengan yang lainnya sehingga terjadi kematian jarak, sehingga tidak ada lagi yang dapat disembunyikan artinya teknologi dapat diakses oleh orang lain begitu pula sebaliknya bahwa dapat dengan mudah mengakses teknologi orang lain. Karenanya, pendidik Islam harus tetap waspada dan mengontrol dengan derasnya informasi dan kemajuan teknologi dengan memberikan pengetahuan, wawasan dan skill yang merujuk kepada pendidikan Islam yang sebenarnya sehingga dapat menjadi filter dalam menghadapi era gobalisasi ini.
5.      Kurikulum
Setiap kegiatan pendidikan agama Islam seharusnya diorientasikan pada pencapaian kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kecerdasan emosional, sosial, intelektual, intelligence, terlebih lagi pada aspek spiritual maka dalam mencapai tujuan yang diharapkan maka diperlukan media yang relevan di antaranya yang berupa kurikulum.
Menurut Dedi Mulyasa, kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar dan hasil belajara serta yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan.[25] Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang direncanakan, di programkan, dan dirancang sedemikian rupa secara sistematis yang berisi bahan ajar serta pengalaman belajar sehingga dalam program pendidikan memiliki arah dan tujuan yang akan di capai dan dari hasil yang dicapai kita dapat merevisi ulang dan mengembangkan program pendidikan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya sehingga suatu kurikulum pembelajaran dapat dikatakan selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pendidikan. Berikut ini penulis uraikan Skema Sejarah Perkembangan Kurikum di Indonesia.[26]
Periodesasi
Paradigma
Kekhasan  Distribusi Mapel
Rencana Pelajaran 1947
(Disempurnakan
beberapa kali)
Pendidikan Watak sebagai landasan dan bingkai dari pendidikan kognitif serta kontekstualisasi mapel dalam kehidupan sehari-hari
Munculnya mapel: 
 Budi Pekerti
Rencana
Pendidikan 1964
Pendidikan Gotong Royong Terpimpin bersendikan lima nilai pendidikan (Pancawardhana)
Sistem Klafikasi  Mapel Pancawardhana:  Moral. Kecedasan,Emosional/artistik, ketrampilan dan jasmani

Kurikulum 1968
Pendidikan yang berorientasi pencetakan manusia Pancasilais Sejati
Sistem Klafikasi Mapel berbasis Tiga Kategori: Pembinaan Jiwa Pancasila, Pengetahuan Dasar dan Kecakapan Khusus
Kurikulum 1975
Pendidikan yang berorientasi pada tujuan yang ditetapkan Pemerintah dengan Kreteria yang terukur secara Behavioralis (Melalui Ransang Jawab dan Drill)
Mapel Budi Pekerti dihilangkan, diganti dengan Dua Mapel terkait yakni Pedidikan Agama dan Pendidikan Moral pancasila (PMP)
Kurikulum 1984
Paradigma CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan penekanan kepada aspek kognitif.
Mulai muncul mapel sejarah dengan tajuk Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
Kurikulum 1994
Sistem Kurikulum yang seragam di seluruh Indonesia ditambah muatan lokal yang berbeda di tiap daerah serta peningkatan penekatan  pada aspek kognitif.
Serupa dengan
Kurikulum 1984
Kurikulum 2004
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang berorientasi pada pencapaian pengetahuan dan keahlian dibidang yang spesifik
Pembentukan Empat gugus Kompetensi utama:  Pengembangan Kepribadian (MK), Pengembangakan Keahlian  Ketrampilan (MKK), Pengembangakan Keahlian  Berkarya (MKB), Pengembangakan Perilaku   Berkarya (PPB), Pengembangakan Berkehidupan Bermasyarakat (PKB)
Kurikulum 2006

Kurikulu Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) yang bercorak Desentralistis dengan memberi kewenangan pada masing-masing sekolah untuk merancang Kurikulum berdasarkan Kerangka umum yang ditetapkan Pemerintah.
Serupa Kirikulum 2004

Kurikulum 2013

Orientasi utama pada pendidikan  berbasis karakter dan menjadikan evaluasi sikap serta penghayatan agama peserta didik sebagai komponen integral dari penilaian kesuksesan studi di setiap mapel
Pendididikan agama kini disebut Pendidikan agama dan budi pekerti sementara pendidikan Pancasila (seperti halnya sejak kurikulum 2004) disebut pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pada jenjang pendidikan menengah, kini terdapat mapel wajib Prakarya dan Kewirausahaan.
Kurikulum 2013
Masih dievaluasi oleh Pemerintah dalam Pelaksanaan Kurikulumnya


Dalam mereformasi kurikulum pendidikan agama Islam diharapkan dilakukan secara terencana, ini semua dalam rangka menyiapkan peserta didik agar mengenal, memahami, menghayati, sampai menyakini dan mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Kurikulum pendidikan agama Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam menjadikan manusia muslim yang bertakwa, beriman dan berilmu pengetahuan yang dapat mengabdikan dirinya kepada Allah dengan sikap dan kepribadian yang penuh dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mengharap ridho Allah.
Menurut Husain Haikal bahwa dalam bidang pendidikan, hanya sibuk bergulat dengan kurikulum atau mengganti nama sekolah, sementara mutu pendidikan makin merosot. Indonesia seakan-akan berlari di tempat sementara Negari Jiran makin berkembang serta bermutu dunia pendidikannya. Akibatnya, Indonesia makin kekurangan SDM yang bermutu dan kekurangan ini diisi orang asing sehingga mereka berjumlah sekitar 7000 orang dan menyarankan untuk bercermin pada kiprah berbagai Perguruan Tinggi di luar negeri. Namun juga, perlu bercermin pada dinamika Pondok Modern Darussalam Gontor, sebuah ponpes yang terus berkembang walau dimulai dengan pendidikan anak usia dini. Dengan tekad yang kuat dan terus melakukan berbagai terobosan, pondok mampu bertahan dan berkembang. “Salah satu sebabnya barangkali Pondok Modern Darussalam Gontor tidak pernah mengikuti jejak pengelolaan pendidikan Indonesia yang asyik dengan gonta-ganti kurikulum, sementara pihak luar melihatnya sebagai salah satu contoh proyek untuk meraih rupiah. Menariknya, Pondok Modern Darussalam Gontor tetap bertahan dengan kurikulum yang dimilikinya dan tidak tertarik untuk berganti-ganti yang melelahkan serta membingungkan semua pihak yang terlibat terutama para guru, siswa, dan orang tua.[27]
Kurikulum Pondok Gontor baru diakui pemerintah tahun 1998, jadi para alumni Pondok Gontor sebelum tahun 1998 harus ikut paket C atau ujian persamaan. Bahkan tidak diterima di kampus negeri sehingga hanya masuk kampus swasta. Tapi ijazah Gontor justru diakui dunia internasional salah satunya mesir, maka banyak lulusan Pondok Gontor yang justru kuliah keluar negeri. Tahun 1998 ijazah gontor baru diakui oleh pemerintah. Pemimpin Gontor tidak bergeming kepada pemerintah. Pondok Gontor tetap mempertahankan kurikulum dan buku-buku pegangan pembelajaran gontor yang mereka susun dan tulis sendiri dan sekarang alumni Pondok Gontor banyak diterima di STAIN, IAIN, UIN, Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada dan kampus lainnya, begitu juga ke luar negeri. Pondok Gontor telah mendapat Mua’adalah (Persamaan) dari Pemerintah Indonesia dan melakukan MoU dengan kampus-kampus yang ada di dalam dan luar negeri.
Dengan adanya perubahan kurikulum di Indonesia yang sudah berapa kali mengalami perubahan akibat dari kebijakan Pemerintah yang menjabat saat itu bahkan berapa macam metode mengajar yang ditatarkan kepada guru dianggap kurang sesuai dengan era globalisasi dan  stakeholder.
Reformasi kurikulum pendidikan agama Islam dalam menghadapi era globalisasi diharapkan adanya perubahan, perbaikan dan penataan kembali secara struktur menjadi lebih baik. Kaitannya dengan kurikulum pendidikan agama Islam, agar dapat direformasi kembali agar kurikulum pendidikan agama Islam sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam sehingga dapat menghadapi berbagai masalah-masalah yang terjadi sekarang ini khusunya dalam menghadapi era globalisasi sehingga dapat memainkan perannya secara dinamis dan proaktif.
Usaha yang harus dilakukan oleh para pemikir muslim dalam rangka mereformasi kurikulum di era globalisme ini adalah dengan adanya pendidikan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang terkait dengan sistem agama Islam. Ajaran Islam hendaknya dioperasionalkan dalam kenyataan, sehingga akan terlihat dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar-benar mengikuti prinsip-prinsip agama Islam. Berkaitan dengan era globalisasi yang cenderung pada perubahan yang sangat cepat dan ketidakpastian ini, maka ilmuwan muslim melalui lembaga pendidikan Islam memerlukan suatu desain kurikulum yang berorientasi pada masa depan, memiliki fleksibelitas tinggi, diversifikasi keahlian, serta mudah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat  dalam menghadapi era globalisasi.


6.      Pengaruh Barat
Adanya kekuatan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi, yang dapat menimbulkan pendidikan liberalisme dan neoliberal yang konsepnya adalah kompetisi dan persaingan. Hampir semua sekolah, taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, didasarkan ideologi kompetisi. Kompetisi bisa memberi manfaat, baik individual maupun sosial, tetapi dengan kondisi tertentu. Orang yang sudah kuat dan mapan dalam ekonomi, pendidikan dan modal tidak fair jika berkompetisi dengan mereka yang lemah. Ini bukan kompetisi yang sehat, tetapi bisa menjadi eksploitasi dan kontraproduktif.[28]
Ketika ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan, pendidikan tidak akan peduli dengan nasib mereka yang kalah. Pendidikan tidak akan peduli dengan pertanyaan: akan dikemanakan mereka yang bodoh, tidak mampu dan miskin? Pertanyaan seperti ini tidak hanya relavan bagi kaum neoliberal, tetapi sudah jelas jawabannya: mereka akan menjadi pecundang, tersingkir dan jadi warga kelas dua di masyarakat. Ini adalah konsekuensi logis dari ideologi kompetisi.[29] Pada waktu ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan, sesungguhnya pendidikan kita hanya didesain untuk kepentingan para pemenang, yaitu mereka yang cerdas, pandai dan kuat ekonomi dan sosial. Pendidikan kita tidak mampu, bodah dan lemah ekonomi dan sosial. Dengan demikian sebenarnya ideologi hanya menjustifikasi privilese orang-orang yang sudah kuat. Kemudian pola kapitalisme pendidikan di Indonesia yang tidak lepas dari grand design paham kapitalisme global. Kalau dulu pemerintah kolonial Belanda hanya memberikan kesempatan kepada penduduk pribumi untuk sekolah sampai SR, sementara itu golongan ningrat saja yang memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ada beberapa faktor munculnya kapitalisme pendidikan di Indonesia diantaranya adalah orientasi pendidikan bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa atau membangun karakter bangsa menuju insan kamil, akan tetapi berorientasi pada pemenuhan ketrampilan dasar (life skill) untuk pemenuhan teknis perusahaan asing yang jelas pro Barat dan kapitalis.[30]
Adanya pengaruh Barat berupa pendidikan liberal, neoliberal dan kapitalisme akan berakibat kepada nila-nilai agama Islam yang mulia yang telah tercipta akan terpengaruh dengan pola pikir Barat ini sehingga nilai-nilai ajaran pendidikan agama Islam telah banyak luntur karena pengaruh Barat di era globalisasi ini yang tidak mengenal moral dan akhlak, ini juga disebabkan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan melakukan sesuatu sesuai hak asasinya, oleh karena itu umat Islam melalui pendidikan Islam harus waspada dan berhati-hati dalam menghadapi arus globalisasi ini.
Selain itu, tantangan yang dihadapi oleh dunia muslim di era globalisasi ada dua hal, yakni yang bersifat subyektif dan bersifat obyektif.[31] Yang bersifat subyektif berasal dari perasaan terasing yang sedemikian mendalam terhadap kebudayaan sendiri, sebagai akibat dominasi budaya barat yang berlangsung sedemikian lama. Perasaan terasing ini nampak jelas dalam rasa rendah diri, dalam sikap agresif terhadap orang lain, dan dalam sukarnya mencari kesepakatan untuk bertindak. Sedangkan masalah obyektif disebabkan oleh banyaknya kaum elit berpendidikan barat yang berkuasa di Negara kita untuk menjalankan dan mengandalkan lembaga-lembaga budaya warisan barat.
Kelompok ini telah dididik jauh untuk melaksanakan tugas-tugas atau tujuan tertentu, dan mereka memiliki ketrampilan yang memadai dan memanipulasi lembaga-lembaga imperial agar bekerja sesuai dengan kehendak penjajah. Imperialism budaya barat telah berhasil mempengaruhi dan menggerogoti keyakinan, nilai-nilai, sikap dan etika.
Dalam konteks ini pendidikan agama Islam memainkan peranan yang penting di dalam proses globalisasi. Reformasi pendidikan agama Islam bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi sebab begitu urgenya peran pendidikan agama Islam dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya memahami sejauh mana posisi pendidikan agama Islam di dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan dan negara. Untuk itu, perlu usaha-usaha yang keras menghadapi globalisasi harus dikerjakan oleh pemikir muslim. Reformasi Pendidikan merupakan salah satu bentuk terwujudnya human capital harus didesain sedemikian rupa sekiranya mampu mencetak sumber daya manusia yang tetap kukuh keimanan dan ketakwaannya, siap berlaga dan sukses di era globalisasi.[32]

7.      Paham Keagamaan
Para pemegang kebijakan dan para pemikir Islam hendaknya tetap melakukan pengawasan terhadap masuknya paham keagamaan yang ekstrim, eksklusif dan fundamentalis di era globalisasi ini. Karena paham keagamaan mudah terpengaruh untuk melakukan kegiatan yang akan mengganggu ketertiban masyarakat, bangsa dan negara, dan akan  merusak citra Islam sebagai agama damai, sejahtera, tentram, ramah, toleransi dan kasih sayang.
Mohammad Daud Ali mengemukakan ciri-ciri pemahaman keagamaan gerakan sempalan sebagai berikut: (1) pemahaman yang tekstual yang statis terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis; (2) pemahaman yang bersifat dupikasi tetadap pola umat Islam awal (masa Nabi dan para sahabat), (3) pemahaman keagamaan yang berdimensi sufisme dan menilai kehidupan kini sebagai realitas yang tidak Islami.[33]
Sementara itu Azyumardi Azra berpendapat, bahwa kemunculan dan perkembangan kelompok “sempalan” yang cenderung eksklusif, ekstrim dan radikal dalam Islam memiliki sejarah yang panjang dengan akar historis yang amat kompleks. Karena itu, kajian tentang kelompok sempalan yang eksklusif dan radikal dikalangan kaum muslimin lebih khusus lagi mahasiswa, harus melibatkan pendekatan multi dimensional, doktrinal, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Pendekatan yang melihat hanya dari satu sisi saja tidak hanya akan menimbulkan pemahaman yang tidak tepar, tetapi juga akan menciptakan mis persepsi dan distorsi terhadap citra Islam itu sendiri.[34]
Berdasarkan hal tersebut, maka reformasi pendidikan Islam perlu memberikan pemahaman dan penjelesan kepada masyarakat Islam khususnya terhadap paham keagamaan yang ekstrim, eksklusif dan fundamentalis dalam rangka menghalangi atau filter serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan didalam suatu masyarakat atau lembaga pendidikan.

8.      Karakter
Di dalam kehidupan sehari-hari masih ada anggota masyarakarakat yang memiliki karakter jelek atau yang sering disebut dengan kebobrokan akhlak, ini salah satu akibat dari era globalisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media cetak dan elektronik, mulai dari prilaku, gaya hidup, norma pergaulan dan kehidupan yang dipraktekkan, dipertontonkan dan dicontohkan oleh orang-orang luar negeri (Barat) yang akhir-akhir ini semakin menjurus pada kemaksiatan sehingga mengakibatkan hilangnya karakter muslim yang sejati. Bagi pendidikan Islam, arus global bisa menimbulkan paradoks atau gejala kontra moralitas, yakni pertentangan dua fisi moral secara diametral, contoh guru menekankan dan mendidik para siswanya berdisiplin berlalu lintas tetapi realita di lapangan sopir bus tidak berlalu lintas, guru mengajar anak didiknya untuk tidak dan menghindar tawuran antar pelajar akan tetapi siswa melihat dilayar televisi anggota DPR RI tidak bisa mengendalikan emosinya sehingga menimbulakan keributan dan tawuran, di sekolah diadakan razia pornografi di media televisi, internet menampilkan pornografi termasuk iklan-iklan yang merangsang hawa nafsu syahwat, dan lain-lain.[35]
Begitu juga dengan pola kehidupan di barat, tentunya nilai-nilai dan pandangan-pandangan hidup itu sangat erat hubungannya, bahkan sangat mempengaruhi Kerusakan akhlak, moral, adab, akhlak, dan perilaku manusia. Namun di Barat dan Indonesia mengenai nilai-nilai dan pandangan hidup itu tidak sama, maka pancarannya dan pengalamannya dalam bentuk perilaku hidup pun menjadi tidak sama. Dalam ketidaksamaan itu berlangsung pula proses persaingan dan berlomba untuk mempengaruhi pola pikir dan perilaku hidup manusia penghuni bumi ini. Pengaruhnya sangat besar pada kehidupan manusia baik sifatnya jasmaniah maupun rohaniah (fisik, dan mental, materiil dan spiritual).[36] Sehingga globalisasi yang cenderung bersifat westernisasi akan sangat berefek negatif bagi umat Islam yang mudah terpengaruh dan belum kuat imannya. Seperti mereka minum alkohol, pergi ke diskotik, mempunyai hubungan diluar nikah dan lain sebagainya. Bagi muslim yang tidak menerima sistem kelas asli, meraka akan cenderung menirunya, faktor pendidikan dan berkembangnya pemikiran/pandangan seperti pada perubahan pandangan akan mencuci otak pikiran mereka hingga mereka menerima kebiasaan-kebiasaan orang barat dan menjadikannya hal biasa.
Oleh sebab itu, maka perlu reformasi pendidikan Islam di masyarakat atau lembaga bahkan di dalam suatu keluarga untuk melakukan pembinaan sumber daya manusia islami yang tetap kukuh keimanan dan ketakwaannya, siap bersaing dan tidak terpengaruh dengan arus globalisasi yang berakibat fatal. Upaya reformasi pendidikan Islam yang memiliki wawasan global sekarang ini bukan permasalahan yang mudah sebab pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus mempunyai kewajiban untuk mempertahankan, menumbuhkan nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karakter budaya nasional Indonesia dan budaya global.

9.      Peranan  Pemerintah
Pemerintah di Indonesia yang terdiri dari pejabat yang mayoritas beragama Islam mempunyai peranan dalam membuat kebijakan dalam mendukung pelaksanaan akan kelancaran pendidikan Islam berupa bantuan fasiltas sarana dan prasarana, bimbingan dan pelatihan berupa soft skill maupun hard skill kepada anak didik, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang islami dalam menghadapi era globalisasi ini.
Diharapkan pemerintah segera mengeluarkan dan mengimplementasikan kebijakannya tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang berorientasi pada kebutuhan masa depan dan Kebijakan tentang Undang-undang Standar Nasional, yang dapat dijadikan panduan oleh masyarakat dalam mengelola pendidikan serta mengeluarkan kebijakan tentang UU Guru dan Dosen dan mengimplementasikan keseluruh masyarakat sehingga kualifikasi dari tenaga pendidik dan kependidikan dapat ditingkatkan, dengan harapan hasil dari proses pendidikan juga meningkat agar generasi yang terproses dalam pendidikan siap untuk menghadapi kompetisi era global dalam dunia kerja. Bermula dari tingginya tingkat kompetisi yang akan dialami seluruh warga di dunia dengan terbukanya pintu globalisasi, maka setiap negara tidak ada yang bercita-cita untuk menjadi tamu di negeri sendiri, semuanya bagai berlomba untuk mempersiapkan warga negaranya untuk mampu bertahan dalam berkompetisi global tersebut bahkan lebih tinggi lagi adalah mampu memenangkan persaingan global tersebut, sehingga negaranya menjadi predator utama di masa yang akan datang.
Begitu pula dengan Indonesia, pemimpin negara atau pemerintah yang mayoritas beragama Islam harus menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor utama dalam mempersiapkan generasi yang akan datang sehingga  mampu bertahan terhadap persaingan global tersebut, untuk itu pendidikan menjadi prioritas utama dengan mengeluarkan kebijakan bahwa pendanaan pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari APBN dapat terealisasi dan tepat sasaran dalam penyalurannya. Harapannya agar pemerintah memberikan jaminan pendidikan dan sangatlah wajar jika ada ide Jaminan Pendidikan Nasional (Jamdiknas), yang menuntut pemerintah Indonesia untuk memberikan penyelenggaraan jaminan pendidikan gratis dan berkualitas hingga sarjana (S1) kepada seluruh anak Indonesia[37] dan argumen tersebut bahwa jika alokasi anggaran pendidikan nasional yang mencapai Rp 371 Trilyun ditambah APBD dan alih subsidi BBM maka alokasi anggaran tersebut dianggap cukup untuk menyelenggarakan Jamdiknas.[38]
Tingginya kualifikasi manusia untuk menyongsong globalisasi berdampak pada tingginya juga standar pendidikan di Indonesia, bagaimana pemerintah menciptakan strategi yang tepat untuk menghadapi permasalaanh pokok yang pertama yaitu tentang pemerataan pendidikan, yaitu terlaksananya kebijakan bantuan BOS (biaya Operasional Sekolah) atau jaminan pendidikan Nasional (Jamdiknas) yang tepat sasaran dengan harapan dapat dijadikan pijakan mudah untuk setiap warga negara mengakses dan mengenal serta mengikuti dunia pendidikan yang ada di Indonesia.
Sebagaimana telah dirancang oleh Kementrian Agama dengan program 1000 Doktor pada tahun 2015 untuk kuliah di dalam maupun luar negeri dapat terealisasi dengan baik serta bertekad mencetak 5000 Doktor yang rencana program yang akan digarap selama 5 tahun tersebut di launching langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.[39]

10.  Dikotomi Ilmu
Saat ini berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi Islam tersebut sudah ada yang dapat diselesaikan, namun lebih banyak lagi yang belum diselesaikan. Di antaranya adalah mengatasi dikotomi ilmu sudah dapat diselesaikan melalui konsep integrasi ilmu dan berbagai pendekatan. Integrasi Ilmu di UIN Sunan Kalijaga diselesaikan melalui konsep interkoneksitas fungsional atau jaring laba-laba yang digagas oleh Amin Abdullah, mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga; konsep pohon ilmu yang digagas oleh Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, konsep integrasi antara ilmu-ilmu yang berbasis ayat-ayat Qur’aniyah dengan ilmu-ilmu yang berbasis ayat kauniyah yang digagas, Sementara Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; konsep Iman memandu ilmu, dan ilmu memandu amal yang digagas oleh Nanat Fatah Natsir, mantan Rektor Sunan Gunung Jati, Bandung.
Dengan demikian, apakah konsep integrasi dan integrasi ilmu ini secara substansial dan fungsional telah diimplementasikan ke dalam konstruksi kurikulum, silabus, proses belajar mengajar, atmosfir akademik, evaluasi dan komponen atau manajemen pendidikan lainnya, masih memerlukan  penelitian lebih lanjut tentunya, apakah ini berhasil atau belum.
Adapun usaha lain untuk menghilangkan dikotomi ilmu ini salah satunya dengan cara merumuskan semua cabang ilmu pengetahuan (umum) harus diintegralisasikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Artinya, ilmu-ilmu umum harus berjalan dengan sentuhan agama Islam. Begitu juga sebaliknya, ilmu-ilmu agama Islam juga harus berjalan dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak terdominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual, dan eskatologis, maka untuk mewujudkan gagasan ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami, dibutuhkan keberanian untuk melakukan ijtihad dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi secara bersungguh-sungguh dan membangun kembali semangat reformasi atau pembaharuan.
Selama ini masyarakat Islam cenderung statis dan takut menerima reformasi atau pembaharuan, karena adanya anggapan bahwa apa yang telah dirumuskan oleh generasi terdahulu telah sempurna dan cukup lengkap untuk menjawab masalah globalisasi apalagi adanya kerja sama yang baik antara para ilmuan dengan pemerintah. Para ilmuan muslim diharapkan dapat mencurahkan segala kemampuannya dalam mengembangkan, menguasai dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman, sedangkan pemerintah diharapkan dapat memberikan jaminan kesejahteraan kepada para intelektual muslim sehingga mereka mampu mencurahkan segala kemampuannya dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern maka dalam penyusunan kurikulum pendidikan agama Islam yang fleksibel, dinamis, efektif dan efisien.

11.  Studi Islam di Timur dan Barat di Era Globalisasi
Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan berbagai tantangan dengan berkembangnya model-model pendidikan di era globalisasi yang dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, pencarian yang ideal tentang studi Islam terus dilakukan, terutama untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam.
Yang tidak kalah seriusnya adalah tantangan globalisasi yang memungkinkan sebuah lembaga pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu yang bertaraf internasional. Sebagaimana diketahui, orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat diakui secara internasional. Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan memiliki kualifikasi internasional, tidak lepas dari pandangan tentang studi Islam, yang selama ini diperdebatkan antara studi Islam di Timur dan Barat.[40]
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam di Barat; teologis dan sejarah agama-agama. Pendekatan kajian teologis, yang bersumber dari tradisi dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif mengenai agama-agama. Karena itu, kajian-kajian diukur dari kesesuaiannya dengan dan manfaatnya bagi keimanan. Tetapi dengan terjadinya marjinalisasi agama dalam masyarakat Eropa atau Barat pada umumnya, kajian teologis yang normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama.[41]
Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman tentang fenomena historis dan empiris sebagai manifestasi dan pengalaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisis dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan, sesuai dengan perkembangan keilmuwan di Barat yang sejak abad ke-19 semakin fenomenologis dan positivis, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam di Barat.[42]
Studi Islam di Barat melihat Islam sebagai doktrin dan peradaban, dan bukan sebagai agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum Muslimin melihatnya, tetap merupakan ciri yang tak mungkin dihapus. Oleh karena Islam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah, maka Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek studi ilmiah lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti karena apa yang mereka kehendaki adalah pemahaman, dan bukannya usaha mendukung Islam sebagai sebuah agama dan jalan hidup. Penempatan Islam sebagai obyek studi semacam ini, memungkinkan lahirnya pemahaman yang murni “ilmiah” tanpa komitmen apa pun terhadap Islam. Penggunaan berbagai metode ilmiah mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, memungkinkan lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi ilmiah cukup mengagumkan, walaupun bukan tanpa cacat sama sekali.[43]
Studi Islam era globalisasi di Barat, yang berusaha keras menampilkan citra yang lebih adil dan penuh penghargaan terhadap Islam sebagai agama dan peradaban, dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang lebih canggih dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang dipelopori oleh sarjan-sarjana Muslim sendiri. Ini nampaknya menarik banyak perhatian dari generasi baru pengkaji Islam negeri ini. Departemen Agama bahkan memberikan dorongan lebih besar kepada dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi tingkat pascasarjana ke Barat, sambil juga tetap meneruskan tradisi pengiriman dosen-dosennya ke Timur Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya seperti Turki dan Asia Selatan.[44]
Sementara di tempat lain, studi Islam di Timur Tengah dianggap hanya melakukan  pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Kajian Islam di Timur merujuk dari penerimaan terhadap Islam sebagai agama wahyu dari Allah yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diposisikan  secara mulia sesuai dengan kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya dapat dipercaya, diyakini tanpa keraguan. Dengan demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan. Upaya studi ilmiah ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam keyakinan dan kebaikan bagi kepentingan umat.
Orientasi studi di Timur lebih menekankan pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang cenderung normatif. Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan tradisi dan menjamin stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai batas-batas tertentu, menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya penghafalan daripada mengembangkan kritisisme. Meskipun kecenderungan ini tidak dominan, namun pengaruh kebangkitan fundamentalisme di Timur Tengah telah mempengaruhi orientasi pendidikannya yang lebih normatif.
Dua orientasi studi Islam yang dikembangkan di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia, masih dijalankan sesuai dengan tingkat keperluannya. Namun demikian, jika dilihat dari kemajuan dan  perkembangan yang ada di STAIN, IAIN dan UIN menunjukkan kecenderungan orientasi studi ke Barat. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya jumlah mahasiswa yang dikirim ke universitas-universitas Barat, seperti Ohio Institute, McGill University, Leiden University, dan sebagainya. Pasca generasi Harun Nasution dan Mukti Ali menunjukkan meningkatnya gelombang pengiriman mahasiswa ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Jerman, dan Perancis.
Walaupun orientasi studi Islam di Indonesia lebih cenderung ke Barat, studi di Timur Tengah tetap mempunyai nilai penting, terutama dalam memahami aspek doktrinal, yang menjadi basis ilmu pengetahuan dalam Islam. Dengan demikian, orientasi studi islam di Timur dan Barat tetap signifikan dalam rangka pengembangan pendidikan Islam di lingkungan PTAI seluruh Indonesia.

E.      Gerakan Reformasi Pendidikan Islam dalam menghadapi Era Globalisasi
Gerakan reformasi pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa mempunyai hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa yang akan datang. Pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan bentuk dan cara dalam menyikapinya maupun perubahan suatu masyarakat. Oleh sebab itu, pentingnya reformasi pendidikan yang relevan dengan waktu dan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum, proses, fungsi, tujuan, manajemen lembaga pendidikan, dan sumber daya pengelolah pendidikan maka diharapkan pendidikan Islam harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut, selama tidak melanggar norma agama dan mengikis akidah.
Dalam rangka gerakan reformasi Pendidikan Islam secara konsesional umat Islam Indonesia memiliki peran besar dan tanggung jawab atas perkembangan dan kemajuan Indonesia dalam semua aspek pembangunan, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Gerakan reformasi atau pembaharuan dalam pendidikan Islam hendaknya melihat kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu, sehingga ajaran Islam yang hendak dididik dapat dimengerti dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar dapat dirasakan makna dan faedahnya bagi rakyat Indonesia khususnya ummat Islam.
Pada awal abad 20, di dunia muslim muncul kesadaran baru untuk melakukan reformasi pendidikan Islam secara komprehensip dan tidak terpisahkan dari usaha islamisasi ilmu.[45] Ini bermakna reformasi pendidikan Islam itu digagas oleh para pakar sebagai jawaban langsung terhadap arus sekularisasi yang sangat membahayakan bagi umat Islam. Secara subtantif, para pakar berusaha mengadakan reformasi pendidikan Islam untuk mengembalikan pendidikan Islam ke dalam pengaruh Islam, seperti pada masa kejayaan peradaban Islam. Akan tetapi, secara teknis pendidikan Islam dapat beradaptasi dengan perkembangan ilmu-ilmu kontemporer, inilah yang merupakan harapan agar reformasi pendidikan Islam dapat terlaksana dengan baik.
Ada beberapa harapan yang menjadi faktor yang menyebabkan reformasi pendidikan Islam di Indonesia dapat terlaksana dengan baik dan benar di antaranya adalah:
1.      Telah banyak pemikiran untuk kembali ke al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.
2.      Perlawanan rasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
3.      Adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi.
4.      Berasal dari pembaharuan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam, tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari al-Qur’an dan Studi Islam.[46]

Selain  harapan di atas, reformasi pendidikan Islam perlu juga melibatkan  lembaga pendidikan yang terdiri atas dosen, guru, kepala sekolah dan pengawas dan sebagainya sebagai tokoh yang digugu dan ditiru harus menjadi teladan yang baik bagi siswa. Ada peribahasa mengatakan guru kencing berdiri siswa kencing berlari. Ini berarti guru harus menjadi contoh yang baik bagi siswa, jika gurunya memberi contoh yang tidak baik maka siswanya akan lebih tidak baik lagi. Sehingga pendidikan Islam yang dijalankan guru atau dosen tidak akan tercapai. John Locke pernah mengemukakan dalam pandangan filsafatnya bahwa di samping membekali dengan pengetahuan akademis, tujuan utama pendidikan adalah to instill virtue atau menanamkan nilai-nilai kebajikan.[47] 
Gerakan reformasi pada pendidikan Islam di Indonesia mempunyai alasan di antaranya konsepsi dan praktek pendidikan Islam sebagaimana tercermin pada kelembagaannya dan isi programnya didasarkan pada konsep atau pengertian pendidikan Islam yang sangat sempit terutama hanya mementingkan kehidupan akhirat kelak kemudian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang saat ini contohnya, seperti pesantren, lembaga keagamaan keislaman, perguruan tinggi Islam swasta dianggap kurang mampu memenuhi keperluan umat Islam dalam menghadapi tantangan global dan kebutuhan daya saing masyarakat yang selalau mengalami perubahan ditambah politik bangsa Indonesia yang sedang mengalami perubahan apalagi setelah pemilu.
Untuk itu dalam menghadapi era globalisasi, perlu adanya gerakan dalam upaya reformasi pendidikan Islam sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakat maka diperlukan upaya secara terencana, sistimatis dan mendasar, yaitu perubahan pada konsepsi, isi, praktek, dan program pendidikan Islam dilakukan upaya pembaruan sebagai berikut: (1) perlu pemikiran untuk menyususun kembali “konsep pendidikan Islam yang benar-benar didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia, terutama pada fitrah atau potensinya[48] dengan memberdayakan potensi-upaya yang ada pada diri manusia sesuai dengan harapan, tuntutan dan perubahan masyarakat, (2) pendidikan Islam hendaknya didisain menuju pada integritas antara ilmu-ilmu naqliah dan ilmu-ilmu ‘aqliah, sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara ilmu-ilmu yang disebut ilmu umum dan agama sebab dalam pandangan Islam, semua ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. (3) “pendidikan didisain menuju tercapainya sikap dan perilaku “toleransi”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (4) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, (5) pendidikan yang menumbuhkan etos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur[49] (6) pendidikan Islam hendaknya didisain untuk menyiapkan generasi Islam yang berkualitas untuk mampu menjawab tantangan dan perubahan masyarakat dalam semua sektor kehidupan, (7) pendidikan Islam perlu dikonsep secara terencana, sistimatik, dan mendasar agar fleksibel terhadap perubahan masyarakat di era globalisasi.
Kemudian melakukan gerakan  reformasi pada kelembagaan pendidikan Islam  diaataranya yaitu menyusun visi dan misi pendidikan Islam  menghadapi era globalisasi dan penataan dan revisi manajamen pendidikan Islam secara serius, transfaran, demokratis, berkualitas, relevan,  berani mengambil resiko dengan kemungkinan yang ada, fleksibel dengan masuknya siswa atau mahasiswa yang bergama non muslim, rekrutmen tenaga pendidik dan kependidikan secara murni dan profesional  terlepas dari pengaruh  KKN (korupsi, kolusi, Nepotisme).
Sebagai agen of change, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir globalisasi sekarang ini diharapkan  dapat  memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Eksistensinya ilmuwan Islam sebagai pembaharu diharapkan bisa melakukan perubahan dan memberikan kontribusi yang bermakna bagi perubahan dan perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis dengan cara mempertahan dan menjaga hal-hal yang masih baik dan membuat atau mengambil hal baru yang baik. Sebagaimana ungkapan bijak: Al muhafadhoh ‘ala qodimi al-sholih wal akhdzu bil jadidi al-ashlah.
Organisasi-organisasi Islam hendaknya diisi dua hal yaitu, disamping pembinaan keimanan dan ketaqwaan juga perlu mendapatkanperhatian untuk diisi peningkatan skill, produktivitas, komunikasi yang berkaitan dengan kemajuan ekonomi, kemajuan dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi serta masalah sosial, hukum budaya, politik dan lainya. Untuk menghasilakn Sumber Daya Manusia yang berkualitas, setiap individu harus memiliki landasan dan kemampuan yang meliputi perilaku, kerja keras disiplin, tanggung jawab dapat dipercaya dan sejenisnya dengan berpedoman pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.[50]
Pendidikan Islam bukan hanya proses tranmisi dan transformasi untuk membentengi diri dari pengaruh dan hal-hal  negatif di era globalisasi. Tetapi yang paling urgent adalah bagaimana nilai-nilai nilai akhlak, etika, estetika moral yang telah ditranmisi dan ditransformasi melaui pendidikan Islam tersebut dapat teraktualisasikan di dalam kehidupan sehari-hari dan mampu berperan sebagai kekuatan untuk menghadang semua permasalahan hidup mulai dari kebodohan, kesengsaraan, kemiskinan, pengaruh barat, faham keagamaan yang menyesatkan dan keterbelakangan di bidang ekonomi, pendidikan , sosial dan budaya khususnya dalam menghadapi era globalisasi.
Bagi Lembaga Pendidikan Islam, jika agama telah dijadikan sebagai landasan untuk kemajuan di dunia dan akhirat maka dalam menghadapi globalisasi, di Indonesia hendaknya model pendidikan perlu  dipararelkan  dan diintegrasikan dan inipun bisa dilakukan di lembaga pendidikan umum yang di dalamnya ada guru atau dosen yang beragama Islam agar berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu alam (qauniyyah) yang dikuasainya dengan ayat-ayat al-Qur’an (qauliyyah) ditambah dengan nilai-nilai karakter mulia.
Sebagaimana tujuan pendidikan Islam ditegaskan bahwa: ”The aim of education in Islam is to produce a good man” yang bermakna bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menghasilkan pribadi manusia yang baik. Adapun hal yang berkenaan dengan kebaikan selalu dihubungkan dengan etika, estetika, moral, akhlak, dan adab dalam percapaian mutu kebaikan dimensi spiritual dan material manusia. Pendidikan Islam diharapkam dapat membantu dalam menyenpurnakan kepribadian seseorang atau kelompok untuk melakukan tugas-tugas kekholifaannya di muka bumi secara baik dan benar. Sebab itu pendidikan Islam selain sebagai proses pembinaan fitrah/potensi pribadi sekaligus merupakan transformasi kebudayaan dan peradaban sehingga eksistensi dan pengembangan hidup umat Islam berlangsung dengan damai, sejahtera dan bahagia dunia dan akhirat.
Usaha dalam mereformasi pendidikan Islam yang berwawasan global diharapkan dapat dilaksanakan dengan cara yang benar dan memiliki strategi yang tersusun rapi, jika nilai dan ajaran tersebut dapat memasuki reliung-reliung pendidikan Islam sampai pada akar-akarnya kemungkinan pendidikan akan menemukan jalan keluar, pendidikan Islam yang bewawasan global yang diinginkan adalah pemikiran yang berkelanjutan yang harus dikembangkan melalui pendidikan untuk menghadapi persaingan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika tidak pendidikan akan semakin tertinggal terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

F.      Simpulan
Globalisasi bagi umat Islam tidak penting untuk diributkan, diterima ataupun ditolak, namun yang paling penting dari semua adalah seberapa besar peran Islam dalam menata umat manusia menuju tatanan dunia baru yang lebih maju dan beradab. Ada atau tidaknya istilah globalisasi tidak menjadi masalah, yang penting ajaran Islam sudah benar-benar diterima secara global, secara mendunia oleh segenap umat manusia, diterapkan dalam kehidupan masing-masing pribadi, dalam berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Globalisasi ini dapat menjadi peluang dan bisa juga menjelma sebagai tantangan bagi pendidikan Islam atau arus globalisasi itu bukan lawan atau kawan bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai dinamisator. Jika pendidikan Islam mengambil posisi anti global, maka akan stagnan tidak bergerak dan pendidikan Islam akan mengelami penghambatan intelektual. Sebaliknya bila pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya identitas keislaman sebagai sebuah proses pendidikan akan dilindas. Oleh sebab  itu, pendidikan Islam harus memposisikan diri dengan menakar arus global, dalam arti yang sesuai dengan pedoman dan ajaran nilai-nilai Islam agar bisa direformasi,  diadopsi dan dikembangkan. Sedangkan jika ada yang tidak sesuai dengan pedoman dan ajaran nilai-nilai Islam tidak perlu dipakai bahkan ditinggalkan. Namun jika pendidikan Islam itu menutup diri akan ketinggalan zaman, sedangakan jika membuka diri beresiko kehilangan jati diri atau kepribadian. Namun jika agama dapat dijadikan sebagai pedoman  untuk kemajuan di dunia dan akherat, maka dalam menghadapi globalisasi, di Indonesia hendaknya model pendidikan diintegrasikan. Apalagi jika bisa diintegrasikan antara ilmu-ilmu alam (qauniyyah) yang dikuasainya dengan ayat-ayat al-Qur’an (qauliyyah) maka pendidikan Islam yang harus dipertahankan adalah sikapnya yang tetap selektif, kritis, dan terbuka terhadap munculnya pergolakan arus global, bukan dengan sikap yang menutup diri atau terseret arus global sehingga mengikis identitas pendidikan Islam itu sendiri maka perlu upaya memformulasikan kembali teori dan praktek pendidikan Islam secara benar sehingga kontekstual terhadap arus global dengan menghilangkan batas pendidikan Islam yang dikotomik menuju pendidikan yang integralistik.
Selain itu  Pendidikan Islam hendaknya kembali kepada sumber aslinya yaitu Qur’an dan Hadits, dengan tetap berusaha menambah dan memperluas wawasan terhadap kemajuan zaman, modernitas, sain dan teknologi. Sehingga pada gilirannya out put pendidikan Islam akan mempunyai kesalehan berfikir, kesalehan berbudi, dan kesalehan dalam perbuatan maka Pendidikan Islam  sebagai dasar, pedoman landasan, dan inspirasi untuk kemajuan dunia dan akherat harus diajarkan sejak di sekolah yang paling rendah sampai dengan studi Islam informal di majlis taklim dan pengajian-pengajian samapi perguruan tinggi.
Harapannya agar para ilmuwan muslim, pejabat pemerintah yang beragama Islam dan praktisi pendidikan Islam serta partisipan harus berusaha untuk dapat mengatasi segala permasalahan di era globalisasi ini dan dapat memberdayakan segala potensi berupa pemikiran, jiwa, raga atau harta yang yang dimiliki serta lembaga Islam untuk kemajuan pendidikanIslam dan kemaslahatan ummat [.]

REFERENSI


al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz, Bab Ma Qila fi Auladil Musyrikin, dan Bab Idza Aslamash Shabiyyu fa Mata hal Yushalla ‘alaihi. Dan Muslim dalam Kitabul Qadar, Bab Ma’na Kullu Mauludin Yuladu ‘alal Fithrah.

Al-Djamali, Fadhil, Menerebas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Jakarta: PT. Golden Terayon  Press, 1993

Ali, A. Mukti., Ijtihad, Dalam Pandangan Muhammad abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal, Jakarta: Bulan Bintang 1990

Asrohah, Harun., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999

Azizy Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, 2003

Azra, Azyumardi., Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000

Bakar, M Yunus Abu., Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, Ponorogo: Darussalam, 2012

Danim, Sudarman., Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Daulay, Haidar Putra., Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007

Ensiklopedi Islam, Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986

Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (terj.), Bandung: Penerbit Mizan, 2001

Fadjar, A. Malik., Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI. 1998

Faisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995

Gibb, HAR. Modern Trends In Islam, New York: Octagon Book, 1978

Hidayat, Komaruddin., Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995

Ja’far, Syah Idris Ahmad Farid., (ed), Perspektif Muslim Tentang Perubahan Sosial, Terjemahan, Budiman: Bandung. 1988

Jasin, Anwar., “Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis”, Makalah Seminar Nasional, Jakarta, 1985

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1995

Locke, John, Some Thoughts Concerning Education, 1963

Lubis, M. Solly, Umat Islam Dalam Globalisasi, Jakarta: Gema Insani Press. 1997

Muhadjir, Noeng., “Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Persepektif Modern” Makalah Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam, Sistem Metodologi dan Materi di Pondok Modern Gontor, 31 Agustus 1996

Mulyasa, Dedi., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: Rosda, 2007

Nata, Abuddin., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 2003

Qodri, Azizy., Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga,  2005

Siradj, Sa’id Aqiel., Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern: Pesantren Masa Depan,  Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999

Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogya, 2000

Tafsir, A., Cakrawala Penididikan Islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004

Tafsir, Ahmad., Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Rosda, 2008

Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Islam dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998

Usa, Muslim., Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991

Yusril Ihza Mahendra, “Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia”, Jurnal Ulumul Qur'an, No. 3 Vol. 5 Tahun 1994

Jurnal, Laman dan Web

Antara News, diakses pada tanggal   30 April 2014

http://birokrasi.kompasiana.com, diakses tanggal 2 Januari 2014

http://kamusbahasaindonesia.org/reformasi/mirip, diakses tanggal 20 Desember 2014

http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 2 Januari 2014.,

http://pendis.kemenag.go.id, diakses pada tanggal 28 Desember 2014

http://pjjpgsd.dikti,, diakses pada tanggal  5 September 2014.

http://www.merdeka.com, diakses tanggal 2 Januari 2014

http://www.uny.ac.id/berita/uny, diakses tanggal 29 Desember 2014

Khamami Zada, “Orientasi Studi Islam di Indonesia Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan PTAI”, Istiqro: Jurnal Penelitian  Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam RI,  Vol, VI/No. O2/2003, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2003

Republika, diakses pada tanggal  28 April 2014



[1] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (terj.), (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), h. 345.
[2] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986), h. 42
[3] http://kamusbahasaindonesia.org/reformasi/mirip, diakses tanggal 20 Desember 2014
[4] H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Islam dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998),  h. 25.
[5] Harun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999), h. 169
[6] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya. 1995),  h.17
[7] M. Solly Lubis, Umat Islam Dalam Globalisasi, ( Jakarta: Gema Insani Press. 1997), h 1997.
[8] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), h.183
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2008), h.24
[10] HR. al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz, Bab Ma Qila fi Auladil Musyrikin, dan Bab Idza Aslamash Shabiyyu fa Mata hal Yushalla ‘alaihi. Dan Muslim dalam Kitabul Qadar, Bab Ma’na Kullu Mauludin Yuladu ‘alal Fithrah.
[11] A. Tafsir, Cakrawala Penididikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), h. 2
[12] Dalam hal ini Abduh mengajak memahami agama Islam dengan mengikuti ulama-ulama salaf sebelum timbulnya perpecahan, untuk itu ummat Islam dalam usaha memahami ajaran Islam harus kembali kepada sumbernya yang pertama yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Langkah selanjutnya adalah memperbaiki bahasa Arab dan memperbaiki pergaulan hidup ummat Islam khususnya bangsa Mesir, dengan menginsyafkan pemerintahan dan rakyat tentang hak dan kewajiban. Lebih lengkap lihat A. Mukti Ali, Ijtihad, Dalam Pandangan Muhammad abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal (Jakarta: Bulan Bintang 1990); lihat juga HAR. Gibb, Modern Trends In Islam, (New York: Octagon Book, 1978), h.92
[13] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru,  (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 64
[14]  M Yunus Abu Bakar, Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Ponorogo: Darussalam, 2012), h.137
[15] M Yunus Abu Bakar, Pengaruh Paham....., h.138.
[16]Al-Djamali, Fadhil, Menerebas Krisis Pendidikan Dunia Islam. (Jakarta: PT. Golden Terayon  Press,1993), h.23
[17] Sedangkan John Dewey, seperti yang dikuti oleh A. Malik Fadjar mengatakan bahwa pendidikan merupakan suatu kebutuhan hidup (a necessity of life), sebagai bimbingan (a direction), sebagai sarana pertumbuhan (a growt) , yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup. Pendidikan mengandung misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan terjadi. Lihat A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI. 1998),  h. 54
[18] Muslim Usa, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991), h. 11
[19] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Logo (Macana Ilmu, Jakarta, 1999), h.57
[20] Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Gema Insani Press, Jakarta, 1995), h.23.
[21] Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 114
[22] Noeng Muhadjir, Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Persepektif Modern Makalah Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam, Sistem Metodologi dan Materi di Pondok Modern Gontor, 31 Agustus 1996
[23] Beberapa contoh kasus yang sedang diselidiki dan disidik oleh aparat hukum ialah pengadaan alat laboratorium komputer di Kampus Universitas Negeri Jakarta, lihat; http://birokrasi.kompasiana.com, diakses tanggal 2 Januari 2014; Kasus selanjutnya adalah korupsi proyek instalasi Informasi Teknologi (IT) perpustakaan Universitas Indonesia (UI), lihat http://nasional.kompas.com, diakses tanggal 2 Januari 2014., Kasus serupa juga terjadi pada level SD terdapat sebuah kasus yang melibatkan salah satu Kepala SDN Nursia Nainggolan di Nadeak Bariba, Kecamatan Ronggur Nihuta, Kabupaten Samosir, dijatuhi hukuman setahun penjara pada sidang di Pengadilan Tipikor, Medan. Dia terbukti mengorupsi dana BOS periode Juli 2009- Desember 2010 senilai Rp 30,7 juta. Selain hukuman penjara, Nursia juga dibebani hukuman denda sebesar Rp 50 juta subsider sebulan penjara, lihat http://www.merdeka.com, diakses tanggal 2 Januari 2014
[24] Sa’id Aqiel Siradj, Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern: Pesantren Masa Depan,  Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 2
[25]  Dedi Mulyasa,  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2007), h.46
[26] Disarikan dari http://pjjpgsd.dikti,, diakses pada tanggal  5 September 2014.
[27] http://www.uny.ac.id/berita/uny, diakses tanggal 29 Desember 2014
[28] Sesuai dengan paradigma berfikir neoloberal, dalam kompetisi harus ada pemenang dan pecundang. Ketika ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan, output pendidikan hanya akan menghasilkan pemenang dan pecundang. Kita tidak sadar, ideologi kompetisi yang diciptakan neoliberal didesain untuk kepentingan pemenang. Karena yang mendesain, menyebarkan dan mendesakkan kepada publik adalah pemenang, yaitu mereka yang kuat secara ekonomi, politik, pendidikan dan modal. Di sini pertautan antara pengetahuan dan kekuasaan ala foucaltion atau pengetahuan dan kepentingan ala Habermas menjadi jelas.
[29] Ideologi kompetisi tidak pernah mempertanyakan secara kritis: mereka mereka kalah? Apakah mereka tidak mampu atau karena ada  faktor lain yang memuat mereka tidak bisa bersaing ? Tentu tidak adil dan tidak fair, anak yang sejak kecil mendapat pendidikan yang memadai dan elite bersaing dengan anak yang hanya sekolah di madrasah pelosok desa/ Karena, kompetisi mensyaratkan adanya kesetaraan dari partisipan yang berkompetisi.
[30] Kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riatas perbandingan, lihat M Yunus Abu Bakar, Pengaruh Paham liberal dan Neoliberal terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, h. 152
[31] Syah Idris Ja’far, Ahmad Farid (ed), Perspektif Muslim Tentang Perubahan Sosial., Terjemahan, (Budiman: Bandung. 1988) h. 146
[32] Azizy Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, 2003,  h. 121
[33] Khamami Zada, Orientasi Studi Islam di Indonesia Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan PTAI”, Istiqro: Jurnal Penelitian  Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam RI,  Vol, VI/No. O2/2003, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2003, h.12
[34] Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999), h.23
[35] Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 64
[36] M. Solly Lubis, Umat Islam Dalam Globalisasi, (Jakarta: Gema Insani Press. 1997), h.35
[37] Republika, diakses pada tanggal  28 April 2014
[38] Antara News, diakses pada tanggal   30 April 2014
[39] http://pendis.kemenag.go.id, diakses pada tanggal 28 Desember 2014
[40] Khamami Zada, “Orientasi Studi Islam di Indonesia Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan PTAI”, Istiqro: Jurnal Penelitian  Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,  Vol, VI/No. O2/2003, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2003), h.1.
[41] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi…, h. 229-230.
[42] Ibid
[43] Yusril Ihza Mahendra, Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia,  dalam Jurnal Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun 1994), h 14.
[44] Ibid., h. 17
[45] Mujamil, Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam,  (Jakarta: Erlangga,  2005), h. 234
[46] Haidar Putra Daulay, (Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia , (Jakarta: Kencana, 2007), h. 57-59
[47] Locke, John, (Some Thoughts Concerning Education ,1963),  h. 2
[48] Anwar Jasin, “Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis”, Makalah Seminar Nasional, (Jakarta, 1985), h. 7
[49] Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial, (Tiara Wacana, Yogya, 2000), h. 45
[50] Azizy Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 122